MENU

TA'RIIFU NAFSII

My photo
Call me "James". I was taught and trained since childhood by my parents to be a strong and broad-minded and the adventurous life since childhood I go abroad and learn all the essence of life on earth 'now, I'm still studying in Yogyakarta UIN Sunan Kalijaga INDONESIA.He he,,!

Thursday, December 30, 2010

ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE

ISLAM SEBAGAI WAY OF LIVE


1. Dipersimpangan Jalan
Bila anda sebagai musafir sendirian, dan melihat ke arah depan, terdapat dua simpang jalan, yang pertama jalan yang sulit, mendaki ke atas gunung; dan yang kedua mudah dan menurun ke lembah. Jalan yang pertama tadi terdapat tebing-tebing, batu yang berserakan, berduri dan berlubang, sulit dilalui dan sukar dijalani, namun di depannya terdapat plang yang didirikan oleh Pemerintah dengan kata-kata: "Jalan ini terdapat tebing yang awal mulanya, dan sulit dijalani, namun jalan inilah yang benar, yang sampai ke kota besar itu, dan sampai kepada tujuan".
Jalan yang kedua, jalan yang mudah ditempuh, ternaung oleh pohon-pohonan, penuh dengan bunga-bungaan dan buah-buahan, di samping kanan dan kirinya terdapat hal yang lucu dan permainan-permainan, di sana terdapat segala macam yang menyenangkan hati, menyejukkan pandangan, mengasikkan pendengaran; namun di sana terpampang suatu plang yang tertulis, bahwa jalan ini menghawatirkan dan membinasakan, yang akhirnya membawa maut dan kebinasaan yang sangat mengerikan.
Jalan manakah yang anda tempuh?
Tidak ragu lagi bahwa hawa nafsu itu condong kepada yang mudah, bukan yang sulit, yang enak bukan yang lara, suka kepada kebebasan, benci kepada keterikatan, inilah fitrah yang telah diciptakan oleh Allah; andaikan manusia membiarkan hawa nafsunya dan melepasnya, maka ia akan memilih jalan yang kedua, namun akal menyusup dan mempertimbangkan antara kesenangan sementara yang akibatnya mendapatkan kesengsaraan yang abadi, dengan kesengsaraan yang sebentar dimana setelah itu terdapat kesengsaraan yang kekal, sudah barang tentu ia akan memilih jalan yang pertama. Inilah contoh jalan syurga dan jalan neraka.
Jalan neraka adalah jalan yang lezat dan menyenangkan, kecondongan nafsu, keinginan hawa, memandang keindahan dan corak ragamnya, terdapat respon bagi syahwat dan kelezatannya, ia akan mengambil harta dengan segala cara harta menjadi kesenangan dan kecintaannya, terdapat kebebasan dan kemerdekaan, sedang nafsu menghendaki kemerdekaan dan kebebasan.
Jalan ke syurga adalah jalan yang sukar dan payah, terdapat di dalamnya ikatan dan batasan, tidak sesuai dengan selera nafsu, menjauhi hawa. Namun kesengsaraan yang sebentar ini, akan mendapatkan kelezatan yang abadi, di akherat kelak. Kesenangan yang sebentar akan mendapatkan kelaraan yang abadi di neraka jahanam. Ibarat seorang murid yang akan menghadapi ujian ia rela bersusah payah menghindari lingkungan keluarga, menyingkirkan apa yang mudah dan mencari kesenangannya menyendiri dengan kitab dan buku, setelah dia mengalami kepayahan itu ternyata mendapatkan kelulusan; juga seperti halnya orang yang sakit bersabar menahan panas dingin dari memakan makanan yang dilarang dokter sehingga setelah itu mendapatkan kesehatan yang membahagiakan.
Allah membentangkan di hadapan kita dua jalan dan Allah memberikan kepada kita kesanggupan untuk membedakan dua jalan tersebut, kita mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, apakah yang alim atau yang jahil, yang besar dan yang kecil, mereka merasa lega hatinya bila berbuat kebajikan, dan grogi apabila melakukan kejelekan. Kesengsaraan ini bukan hanya dimiliki oleh manusia saja, bahkan hewan pun mempunyainya, seekor kucing apabila diberi sekerat daging, maka dia memakannya di hadapanmu, pelan-pelan dengan tenangnya, namun apabila dia mencurl daging sekerat, maka ia menjauh, memakannya cepat-cepat, matanya melirik kepadamu takut ketahuan dan pasti akan dihardiknya. Bukankah berarti bahwa makan daging yang pertama adalah haknya, sedang yang kedua adalah bukan haknya?.
Bukankah ini perbedaan antara hak dan bathil, halal dan haram?.
Anjing apabila telah berbuat baik kepada majikannya, maka ia menunjukkan kejinakannya, seolah-olah meminta santunan, namun apabila berdosa kepada majikannya, maka dia menjauhinya, mengipas-ngipaskan buntutnya, seolah-olah menunjukkan keberatannya atau menunggu hardiknya.
Inilah ta'wilnya firman Allah:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (البلد 10)
"Dan telah kami tunjukkan kepadanya dua jalan"
Untuk mengajak ke jalan syurga, Allah mengangkat petugas dan menunjukkan ke jalannya yaitu para Nabi, sebagaimana penganjur jalan neraka, mengajak dan mendorong kepadanya, yaitu syaitan. Allah menjadikan para Ulama sebagai pewaris para Nabi. Fatimah binti Muhammad tidak diwarisi harta dan sebidang tanah, namun para ulama mewarisi tugas da'wah. Barangsiapa yang menjalankan tugas sebagaimana tugas Rasul, maka dia berhak menyandang kemuliaan warisan ini.
Da'wah ini sulit, karena nafsu manusia diciptakan untuk condong kepada kebebasan, sedang agama mengikatnya, kebebasan mencari kenikmtan sedang agama mengekangnya. Barangsiapa yang mengajak kepada fasik dan maksiat, maka itulah yang sesuai dengan tabeat hawa nafsu, ia berjalan ibarat jalannya air yang mengalir ke tempat yang rendah.
Sulit menaikkan air ke atas gunung, menggalinya dengan susah payah, sedang air turun menuruti lembah. Apabila engkau menghendaki untuk mengembalikannya ke atas lagi maka tidak akan bisa kecuali dengan pengorbanan, kepayahan dan biaya yang banyak. Batu yang di atas jurang, tidaklah perlu membuang tenaga ia hanya mendorong sedikit saja akan turun dengan sendirinya ke sasaran yang ditujunya, tanpa susah payah, namun untuk mengembalikan batu itu ke atas, maka akan mengalami kepayahan dan kesulitan. Demikian juga dengan keadaan manusia.
Seorang kawan yang buruk berkata kepadamu, bahwa di sana terdapat seorang wanita yang cantik, polos tanpa pakaian, maka nafsumu condong kepada hal tersebut, keinginanmu mendorong kepadanya, dan dirayu oleh seribu syaitan, engkau tidak terasa lagi bahwa engkau telah sampai kepada pintu gerbangnya; dan apabila datang orang yang memperingatkan untuk berpaling kepadanya, maka sulit dirimu untuk mengijabah peringatan tersebut melawan kecondongan hawa nafsu dan kehendak hatimu.
Pengajak keburukan tidaklah sulit dan tidak perlu membuang tenaga, tetapi kalau mengajak kebaikan, dan kesadaran amatlah sukar dan payah, sebab pengajak keburukan itu didorong oleh hawa nafsu kepada wanita, dan keinginan terhadap yang haram serta segala yang menyenangkan mata dan telinga serta keenakan hati dan jasad; adapun pengajak kebenaran tidak terdapat hal tersebut kecuali penolakan.
Engkau melihat seorang remaja yang polos, ia condong untuk menampakkan kecantikannya, kemudian penda'wah menga-takan kepadamu "Pejamkan mata dan jangan melihat kepadanya". Seorang pedagang mendapatkan laba dari riba, dengan mudah tanpa payah dan nafsu condong kepadanya, seorang da'i menegurnya "Tinggalkanlah perbuatan itu dan berpalinglah, dan janganlah tanganmu menjamahnya". Seorang pegawai melihat kawannya yang memungut uang suap, dia mendapatkan uang dalam sedetik yang mengimbangi gaji enam bulan ia menggambarkan betapa leluasanya belanja dan terpenuhinya kebutuhan; dan kawan itu berkata kepadanya "Janganlah engkau pungut suap itu dan janganlah bersenang-senang dengannya", berkata kepada mereka: "Apakah kau tinggalkan kelezatan yang sudah ada dan sudah di tangan untuk mendapatkan kelezatan yang akan datang yang masih di awang-awang, meninggalkan apa yang sudah kelihatan dan tampak di hadapan kita dan mengejar apa yang belum tentu, yang tidak kelihatan dan tampak di hadapan kita... Kerjakanlah sesuai dengan kehendak hatimu, semua itu sangat berat pada diri kita dan tidak bisa diingkari bahwa kesucian agama adalah sangat berat, oleh karena itu Allah menyampaikan dalam Al-Qur'an:
إِنَّا سَنُلْقِى عَلَيْك قَوْلاً ثَقِيْلاً (المزمل 5).
"Sungguh Kami akan sampaikan kepadamu tugas yang berat"
Memang setiap barang yang tinggi, itu beban yang berat bagi nafsu. Seorang murid meninggalkan kemalasan dan menghadapi pelajaran adalah berat, seorang yang nyenyak tidur meninggalkan tempat tidur dan bangun melakukan shalat subuh itu sangat berat, seorang prajurit meninggalkan keluarga dan anak-anak untuk menuju ke medan juang adalah sangat berat.
Oleh karenanya orang yang durhaka itu lebih banyak dari pada orang yang sholeh, orang yang terjun ke jalan kesesatan itu lebih banyak dari pada orang yang berjalan di jalan lurus. Mengikuti kebanyakan orang tanpa adanya pemandangan dan dalil itu akan menyesatkan penganutnya pada suatu waktu. Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِى اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ (الانعام: 116).
"Dan jika engkau mentaati kebanyakan orang yang berada di atas bumi ini, maka mereka akan menyesatkan engkau dari jalan Allah".

Andaikan yang sedikit itu bukan merupakan sifat yang tinggi, maka banyaklah orang mendapatkannya dan kebesaran itu banyak terdapat, dan tidak sedikit orang yang istimewa, yang pandai dan pahlawan pilihan.
Para Nabi dan pewarisnya yaitu pada Ulama adalah penganjur ke jalan syurga, sedangkan syaitan adalah pendukung dari orang-orang yang membinasakan dirinya, mereka adalah pengajak ke jalan neraka.
Dalam diri kita kadang-kadang sebagai pembela ini dan pembela itu, dan dalam diri kita terdapat perang antara tentara Nabi dan tentara syaitan. Prajurit Nabi adalah akal, sedangkan prajurit syaitan adalah hawa nafsu angkara-murka.
2. Akal dan Nafsu
Kini engkau bertanya apakah akal itu dan apa pula nafsu itu?.
Dalam kesempatan ini kami tidak akan membicarakan tentang definisi kedua hal tersebut karena merupakan kegelapan yang melingkupi kebodohan kita, ilmu belum mampu menerangkannya. Kita semua mengatakan "Aku mengatakan pada diriku" atau "Akalku mengatakan kepadaku", maka apakah engkau dan apakah dirimu?, mana dirimu dan mana akalmu? Hal ini tidak begitu jelas, dan bukanlah disini pula aku bertugas untuk membuka tabir sekarang ini, namun aku berusaha untuk menjelaskannya dengan contoh-contoh yang konkrit.
Kini engkau berada pada malam hari di waktu penghujan, engkau menikmati tidur itu dengan selimut yang hangat, pulas dengan enaknya kemudian tiba-tiba terdengar ketukan orang yang memperingatkan mengajak shalat kepadamu, kemudian dari dalam dirimu berkata "Bangun! Ayo pergi shalat!". Apabila engkau bangun dan terdapat pula suara yang lain mengatakan: "Tidurlah sebentar". Suara pertama menyahut shalat lebih baik, kemudian suara kedua menegur lagi "Tidur lebih enak waktu masih panjang, sebentar lagi".Kedua suara tersebut selalu saut-menyahut "bangun, tidur, bangun, tidur". Inilah yang disebut akal, dan itu yang disebut nafsu. Contoh ini dapat dikembangkan dengan seribu satu macam. Di kala manusia dihadapkan dalam suatu masalah, maka ia berada dalam suatu dimana ia sedang menghadapi hal yang mengasyikkan dalam keharaman yang akan menjerumus-kannya, namun bagi orang yang tertanam dalam hatinya, mendorong akalnya untuk mencegah perbuatan tersebut. Dan dengan dasar kemenangan akal inilah ukuran keimanan seseorang.
Hal ini bukan berarti akal itu akan selalu mendapatkan kemenangan dan seorang muslim selalu akan menjauhi kemaksiatan selama-lamanya, sedangkan Islam adalah merupa-kan agama fitrah, agama kenyataan, sedangkan kenyataan bahwa Allah telah menciptakan makhluk yang ta'at secara mulus dan hanya untuk ibadah semata-mata, yaitu Malaikat dan Allah tidak menjadikan kita sebagai Malaikat. Allah pula menciptakan makhluk yang peker-jaannya hanya maksiat dan kufur, ialah syaitan, sedangkan kita bukanlah sejenis syaitan. Allah telah menciptakan makhluk yang tidak diberi akal dia hanya diberi insting, tidak dikenakan taklif dan tidak diminta pertanggungjawaban, ia adalah binatang ternak dan binatang buas, sedang kita bukanlah binatang buas atau ternak.


3. Siapakah manusia itu ?
Manusia adalah makhluk yang istimewa, di dalamnya terdapat unsur malaikat, unsur syaitan, unsur binatang dan kebuasan. Apabila dia terbenam dalam ibadah, dan member-sihkan hatinya ketika munajat kehadirat Allah, merasakan kelezatan iman dalam lintasan tajalli, maka dalam diri manusia tersebut terdapat sifat kemalaikatan, mirip dengan malaikat yang tidak maksiat kepada Allah atas segala perintah-Nya dan melakukan segala apa yang dititahkan-Nya.
Apabila manusia melawan kepada penciptanya, inkar kepada Tuhannya, maka kufurlah dia, atau mensekutukannya dalam ibadah selain Allah, maka dalam hal ini manusia terhinggapi oleh sifat kesyaitanan.
Apabila manusia terhinggapi oleh kemarahan, membulat-kan kefanatikannya, mendidih darahnya, mengeraskan sendi-sendinya, tidak memperhitungkan panjang lebar, kemudian menggigitkan giginya dan menunjukkan kekokohan kukunya, mencekam lehernya dengan jari-jari tangannya, kemudian menggeram dengan men-dengus-dengus, maka terdapatlah dalam diri manusia sifat kebuasan, tidaklah berbeda manusia pada saat itu dengan macan tutul atau harimau.
Dan apabila manusia merasakan lapar, haus, maka tidak dipikir lagi kalau ada roti di hadapannya, yang penting penuh perutnya, gelas yang penuh dengan minuman, pokoknya dapat terbasahi kerongkongan, atau juga hanya memuaskan syah-watnya belaka. Jiwanya dikuasai oleh kebutuhan nalurinya, kemudian darahnya mendidih, dan timbul keringatnya, hatinya terpenuhi oleh hayalan yang mengasyik-kan, maka manusia pada saat itu termasuk sifat kebinatangan, maka hal ini manusia tak begitu berbeda dengan penjalu atau kuda, atau apa saja yang setaraf dengan sebutan itu.

4. Baik dan buruk
Inilah hakekat manusia, ia menerima hal yang baik dan menerima pula hal yang buruk. Allah telah memberikan dua hal tersebut kepada manusia. Untuk membedakan keduanya Allah memberikan kepada manusia, juga suatu kehendak yang sanggup menentukan salah satunya. Jika manusia pandai menggunakan akalnya secara baik, dan menggunakan kehendaknya untuk meluluskan perbuatan yang baiknya, dan berkehendak untuk mempersiapkan dirinya bagi kebaikan sehingga lulus dan terwujud, maka di akherat ia akan mendapatkan kebahagiaan. Dan apabila terjadi sebaliknya, maka dia akan mendapat siksaan neraka.
Benar bahwa nafsu secara tabi'i adalah merdeka, sedangkan agama adalah pengikatan, namun tidak boleh tidak harus ada ikatan. Andaikan dibiarkan datangnya kekejian sebagaimana kehendak hawa nafsu yang merdeka, maka terjadilah kekacauan dalam masyarakat, karena kemerdekaan yang mutlak hanya dimiliki oleh orang gila. Orang gila mengerjakan apa yang tergores di hatinya, berjalan di tengah jalan dengan telanjang bulat, menaiki mobil umum di atas kapnya, dia menganggap bahwa pakaian yang kau pakai adalah baik kemudian dimintanya dengan paksa, dia mencintai anakmu, kemudian dia ambil dengan perkosaan tanpa perdamaian.
Orang gila adalah orang yang merdeka secara mutlak, adapun orang yang berakal, maka akalnyalah yang mengikat kemerde-kaannya. Kalau begitu apa akal itu? Akal adalah ikatan, karena lafalnya terambil dari (Al-Iqal) yakni tali, yang mengikat unta. Hikmah juga berasal dari kata (hakamatid-daabatu) yakni tali pengikat binatang ternak. Kebudayaan adalah ikatan, karena tidak seenaknya engkau bertindak, bahkan engkau wajib memelihara hak orang lain dan kepentingan masyarakat.
Keadilan adalah ikatan, karena ia menaruh batasan kepada kemerdekaanmu, dan kemerdekaan tetanggamu.
Kemudian dari pada itu, kemaksiatan adalah enak, karena sesuai dengan selera nafsu, engkau merasa asyik mendengar-kan ghibah (mencela orang lain) karena engkau merasa bahwa engkau lebih baik dari pada orang lain dan lebih utama. Maling adalah enak, karena mendapatkan harta tanpa kepayahan dan kesulitan. Zina adalah enak karena sesuai dengan dorongan hawa nafsu dan mendapatkan apa yang diinginkannya.
Spekulasi dalam ujian adalah enak, karena mendapat kenaikan tanpa kesungguhan. Lari dari tanggung jawab adalah enak karena kesenangan dan kemalasan.
Namun manusia ketika berfikir dan menggunakan akalnya maka didapati bahwa kemerdekaan yang sifatnya temporer, sama dengan setelah itu dipenjarakan dalam neraka jahannam, lezatnya keha-raman itu tidak terlepas dari pada siksaan.
Siapa yang mau membikin kontrak setahun lamanya, kita beri keleluasaan untuk mendapatkan harta sepuasnya, kita tempatkan ke dalam gedung yang ia kehendaki, dalam negara yang dia pilih, mendapatkan isteri sekehendaknya, dua, tiga, empat, andaikan dia mau mencerai salah satunya, dan kawin pada esok harinya, dan kita tidak melarang apa yang dia kehendakinya, namun apabila telah selesai, maka dia harus digantung sampai mati.
Tidaklah berguna kelezatan setahun setelah itu kematian, tidaklah dapat menggambarkan kengerian tiang gantung, kemudian tidak berfikir kelangkaan tangannya, padahal kesakitan di tiang gantung hanya setengah detik dan siksa akherat adalah selama-lamanya.
Tidak ada seorangpun diantara kita yang merasa puas dalam seumur hidupnya karena berbuat maksiat, dan tidak didapati keenakan karena berbuat maksiat ini, paling sedikit dia memilih keenakan tidur dan tidak bangun untuk menunaikan ibadah subuh, maka apakah masih sampai sekarang kelezatan yang telah kita rasakan sepuluh tahun yang lalu?. Dan tidak ada seorangpun di antara kita yang membenci dirinya karena berbuat ta'at dan tidak merasa berat memikul kelaraan ta'at, sedikitnya merasakan lapar dan haus pada bulan Ramadhan, apakah masih terasa kelaraan itu sampai sekarang?. Yang telah kita jalani sepuluh tahun yang lalu?.
Kini telah lenyap kenikmatan maksiat dan kekallah siksanya, dan kini telah lenyap pula kelaraan ta'at dan bersisalah pahalanya.
Waktu kita meninggal, apa yang masih bagi kita (di kala datangnya maut itu) dari segala kelezatan yang telah kita rasakan dan kelaraan yang telah kita pikul?.

5. Kembali ke Jalan Ilahi
Sesungguhnya bagi setiap mu'min itu menghendaki untuk bertaubat dan kembali kepada Allah, namun ia mengulur-ngulur dan menanti-nanti, kukatakan: "Apabila aku telah hajji, maka aku akan taubat dan akan kembali". Kemudian aku pikir bahwa aku telah hajji, namun aku belum juga taubat. Dan aku katakan: "Ah nanti apabila aku telah sampai pada umur empat puluh tahun, aku betul-betul akan taubat". Namunsetelah umur empat puluh tahun, belum juga taubat, sampailah aku umur enam puluh tahun tetapi belum taubat, akhirnya sampai tua tidak taubat. Hal ini bukan berarti bahwa aku berada dalam keharaman dengan menumpuk-numpuh dosa, tidak sekali-kali, namun artinya bahwa manusia mengharapkan dirinya akan melakukan kebaikan, namun menanti-nantikannya, menyangka bahwa dalam masalah ajal terdapat pushah (puso, tempo), menganggap bahwa umurnya panjang, padahal maut mengetuknya dengan tiba-tiba, aku pikir bahwa aku mati dua kali, dan baru aku merasakan bagaimana rasanya mati. Sungguh aku menyesal karena waktuku selama ini terbuang percuma tanpa diisi dengan ketaatan; eh malah ketika aku selamat, menurut perasaan masih ada waktu sebulan lagi, jadilah aku dalam waktu itu manusia yang salah, kemudian tenggelamlah aku dua kali dalam kancah hidup. Aku lupa, aku lupa tentang mati.
Semua kita ini lupa mati, di kala kita melihat mayat berpapasan setiap hari, namun kita tidak merasa bahwa kita akan mati, kita berdiri di depan jenazah, namun pikiran kita melayang ke arah dunia.
Sedangkan, mati itu merupakan ketentuan dari manusia semuanya, hanya Dialah yang tidak, padahal manusia mengetahui bahwa dunia adalah menguasainya, dia dikuasai oleh dunia.
Manakala manusia itu hidup maka ia pasti akan mati, umur 60 tahun, 70 tahun, 100 tahun, apakah tidak ada batasnya?. Tidaklah kita mengetahui bahwa setelah 100 tahun itu akan mati?. Nuh as. berda'wah di lingkungan kaumnya selama 950 tahun, kemana sekarang Nuh as itu? Apakah ada yang disisakan oleh dunia ini? Apakah manusia dapat lolos dari pada maut?. Mengapa kita tidak memikirkan tentang mati, dan mempersiapkannya bila tidak boleh tidak kita harus mati?.
Barang siapa yang menghadapi perjalanan yang tidak mengetahui waktunya kecuali ia didorongnya sampai dia itu mempersiapkan diri, maka apabila dipanggil, maka dia menyahutnya?. Engkau melihat pada saat itu engkau berada pada musim panas di Amman, guru-guru Yordania yang telah mengadakan kontrak dengan Pemerintah Saudi Arabia, mereka mengumumkan bahwa kapal terbang yang akan mengangkut mereka akan segera landing, hendaknya bersiap-siap, mempersiapkan perlengkapannya, menaruh koper pakaian di sampingnya, dia siap pada saat panggilan datang, tapi barang siapa yang tidak menghiraukan dan mengulur-ulur waktu, akhirnya ketika ada panggilan, dia mengatakan, tunggu dulu sampai aku datang dari pasar, saya akan membeli barang-barang, aku akan menitipkan keluarga, dan aku akan meminta kepada Pemerintah untuk mengeluarkan pasporku? maka ia tidak memberi tempo lagi, bahkan ia pergi dan meninggalkannya. Namun Malakul maut apabila datang tidak akan meninggalkan dan tidak akan pergi, bahkan dia mengambilnya dengan paksa meskipun kita tidak mau, tidak membiarkan sejam pun, sedetik atau tidak sekejap sekalipun, dan tidak menunda-nunda. Kita tidak tahu kapan datangnya malakul maut menghampiri kita.
Apa itu mati? dan apa hakekatnya? Sesungguhnya hidup manusia ini mempunyai periode/pos, pos pertama yaitu waktu sebagai janin di perut ibu, pos kedua yaitu hidup di dunia ini, pos yang ketiga adalah alam barzah yakni antara hidup di dunia dan akherat, sejak mati sampai hari qiamat, pos berikutnya adalah pos yang abadi, hidup yang sebenarnya yaitu periode akherat, perbandingan periode sebelumnya adalah ibarat periode sesudahnya.
Keluasan dunia ini ibarat kesempitan kandungan ibu, keluasan alam barzah adalah ibarat sempitnya alam dunia, dan luasnya akherat adalah ibarat sempitnya alam barzah. Janin mengira bahwa dunianya adalah perut ibunya, andaikan dia berakal dan berfikir, kemudian ditanya dia akan menjawab bahwa keluarnya dari kandungan ibu adalah kematian yang sebenarnya. Andaikan di dalam kandungan terdapat kembar, kemudian lahir salah satunya sebelum yang lain, dan melihat bahwa ia lahir sebelumnya kemudian berpisah maka dia pasti mengatakan bahwa dia telah mati dan dikubur di dalam alam kelam. Apabila dia melihat ari yang berada di tubuhnya, niscaya ia menganggap bahwa itu adalah saudaranya, dan menangislah dia, sebagaimana seorang ibu ketika melihat jasad anaknya yang dikubur di liang lahad yang dititipkan di dalam tanah, tidak tahu apakah jasad ini seperti ari? baju yang kotor dimasukkan ke dalam tanah entah sampai kapan, dan selesailah kebutuhannya.
Inilah yang dikatakan mati itu, bahwa mati adalah kelahiran baru, keluar dari periode yang lebih panjang dan lebar dari periode hidup ini. Dunia ini hanyalah suatu jalan, hidup kita ibarat orang yang hijrah ke Amerika, dia memperbaiki ruangan tempat tinggal mereka di kapal dan berusaha untuk mendapatkan kesenangannya dan bersungguh-sungguh, namun apakah ia membelanjakan hartanya semua untuk membenahi kamar tidurnya dan melukis temboknya sampai tidak bersisa sedikitpun, kemudian disana dia sebagai pengemis yang papa. Atau dia katakan bahwa tempo kita di kamar ini hanya tinggal seminggu, dan aku suka apa adanya, dan kita akan berjalan-jalan, dan kita menyimpan kekayaan sebagai persediaan membeli rumah yang akan kita tempati di Amerika, karena di sana juga membutuhkan tempat berteduh.
Tahukah anda apa contohnya dunia dan akherat? Amerika mengumumkan pada suatu ketika dalam percobaan nuklir di salah satu pulau di Samudra Hindia, Amerika sudah memperingatkan kepada penduduk setempat lima belas tahun sebelumnya, (atau berapa) di pulau itu terdapat ratusan penduduk nelayan, Amerika meminta agar penduduk mengosongkan tempat mereka atas tanggungan Amerika sejak dari kelengkapan hidup sampai rumah mereka di tempat pemukiman baru yang dituju, atas dasar kesediaan mereka untuk mengosongkan tempat tersebut dan atas perhitungan segala apa yang ada sebelum batas waktu yang ditentukan, kemudian datanglah kapal terbang untuk mengangkut mereka dari pulau tersebut ke pemukiman yang baru.
Diantara mereka ada yang menyatakan kesediaannya untuk mengosongkan dan memperhitungkan segalanya sebelum datang masanya, dan ada yang tidak menghiraukan dan tidak mengindahkan sampai datang pada waktunya, dan ada pula yang mengatakan semuanya itu bohong belaka, tak ada tempat yang disebut Amerika, dunia ini adalah hanya pulau ini, kita tidak boleh meninggalkannya dan kita tidak suka berpisah dari pulau ini; dia lupa bahwa pulau ini akan tercemar semuanya; hal ini akan dapat dirasakan setelah menjadi kenyataan.
Inilah contoh dunia, pertama contoh orang mu'min yang memikirkan untuk bekal akheratnya, dan bersiap-siap bertaubat dan taat selamanya karena akan menemui Tuhannya. Kedua, contohnya orang mu'min yang malas, dan maksiat, dan yang ketiga contohnya orang materialisme yang kafir, yang mengatakan bahwa kehidupan hanyalah di dunia, tidak ada hidup setelah mati, mati adalah tidur yang panjang, istirahat selama-lamanya, kebinasaan yang nyata.
Hal ini bukan berarti Islam menuntut kepada muslim untuk berzuhud kepada dunia yang hanya sekali ini, menghindari jari-jari mereka dari dunia, dan bukan pula mendekam di mesjid tidak keluar, tidak menempati ke tempat berkecimpung sepanjang hayatnya tentang dunia ......... tidak ....... bahkan Islam menuntut kaum muslimin agar berada di dalam peradaban yang baik sebagai pimpinan budaya manusia, dalam harta benda, disuruhnya untuk kaya sekaya-kayanya, dalam ilmu, seluruh ilmu sebagai alimnya ulama, seluruh muslim harus mengetahui hak jasadnya dengan makanan dan olah raga, hak dirinya mendapatkan kesenangan dengan usaha yang halal, hak ahlinya dengan menjaga dan bergaul dengan baik, hak anaknya dengan mendidik, mengarahkan dan kasih sayang, hak sosial dengan bekerja segala apa yang menjadi maslahat, sebagaimana dia mengetahui hak Allah dengan mentauhidkan-Nya dan taat kepada-Nya.
Boleh mengumpulkan harta, namun yang halal, bersenang-senang dengan segala yang baik dan yang diperbolehkan, sehingga hidup di dunia ini adalah yang terbaik dalam keluarganya, dengan syarat tetapnya kebenaran Tauhid, yang imannya tidak kemasukan oleh syirik, baik yang terang-terangan atau samar-samar, benar Islamnya, menjauhi yang haram, menunaikan segala kewajiban, hartanya hanya di tangan bukan di hati, dia bersandar bukan kepada harta, tetapi kepada Tuhannya, hanya ridho Allahlah yang dituju dan yang dicari.

Thursday, December 23, 2010

PEMIKIRAN SALAFI

Yang dimaksud dengan "Pemikiran Salafi" di sini ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur'an dan tuntunan Nabi SAW.

Kriteria Manhaj Salafi yang Benar

Yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :
  1. Berpegang pada nash-nash yang ma'shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
  2. Mengembalikan masalah-masalah "mutasyabihat" (yang kurang jelas) kepada masalah "muhkamat" (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath'i.
  3. Memahami kasus-kasus furu' (kecil) dan juz'i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
  4. Menyerukan "Ijtihad" dan pembaruan. Memerangi "Taqlid" dan kebekuan.
  5. Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
  6. Dalam masalah fiqh, berorientasi pada "kemudahan" bukan "mempersulit".
  7. Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
  8. Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
  9. Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
  10. Menekankan sikap "ittiba'" (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat "ikhtira'" (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti "manhaj salafi" yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur'an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan "negara ilmu dan Iman". Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat dalam sejarah.

Citra "Salafiah" Dirusak oleh Pihak yang Pro dan Kontra

Istilah "Salafiah" telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap "salafiah". Orang-orang yang pro-salafiah - baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah - telah membatasinya dalam skop formalitas dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metoda "debat" dan "polemik", bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan "Salafiah" ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini "terbelakang", senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan "salafiah" dan membelanya mati-matian pda masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan"pembaruan Islam" pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham "taqlid", "fanatisme madzhab" fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi "ashobiyah madzhabiyah" ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'l - malaam 'anil - A'immatil A'lam" karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap "tasawuf" karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab "Al-Hulul Wal-Ittihad" (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan "tasawuf" untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari "Majmu' Fatawa" karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah "Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in", dalam tiga jilid.

Mengikut Manhaj Salaf Bukan Sekedar Ucapan Mereka

Yang pelu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal y ang mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz'i (kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam "taqlid" yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj "nalar" dan "mengikuti dalil". Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: "Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia".
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: "Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid".
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.
Namun, orang seringkali melupakan, sisi "dakwah" dan "jihad" dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna "Salafiah" yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan "salafiah", dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi "salafiah", ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah "Al-Manar' yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa "bendera" salafiah ini, menulis Tafsir "Al-Manar" dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang "pembaharu" (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca "tafsir"nya, sperti : "Al-Wahyu Al-Muhammadi", "Yusrul-Islam", "Nida' Lil-Jins Al-Lathief", "Al-Khilafah", "Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid" dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan "Manar" (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran "salafiah"nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah "emas" yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah :
"Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat."
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai "pengikut Salaf".

(disalin dari buku "Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah" karya Dr.Yusuf Al Qordhowi, edisi terjemahan Penerbit Usamah Press)

Visi Hukum dalam Sunnah Nabi Saw

Pendahuluan

Sunnah Nabi yang suci telah menghadapi gempuran dari para hamba pemikiran Barat. Mereka, dengan sekuat tenaga dan upaya berusaha membunuh dan mematikannya. Beragam cara mereka lakukan, dan beragam jalan mereka tempuh, untuk mencapai tujuan itu.
Ada yang berusaha mengembangkan sikap skeptis terhadap sunnah. Yaitu dengan meragukan keabsahan seluruh sunnah, atau sunnah yang terucapkan saja --dan ini adalah bentuk sunnah yang terbesar-- atau juga meragukan periwayat-periwayat yang masyhur, seperti Abu Hurairah r.a.
Ada yang berusaha meragukan keabsahan sunnah sebagai sumber hukum Islam dan pembentukan ajarannya. Mereka berkata, kita cukup berpegang kepada Al Quran saja!.
Adapula yang berusaha menghancurkan sunnah dengan sunnah sendiri. Yaitu dengan mengambil sebagian hadist dan meletakkannya bukan pada tempatnya. Kemudian dijadikan sebagai dalil bagi apa yang tidak sesuai dengan kandungan sunnah itu sendiri.

Hadits yang Diletakkan Bukan Pada Tempatnya

Di antara hadits-hadits yang diletakkan bukan pada tempatnya, dan digunakan untuk tujuan yang buruk, adalah: Hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Muslim dalam masalah pembuahan pohon kurma. Hadits itu, dalam sebagian riwayat berbunyi:
"Kalian lebih tahu tentang perkara dunia kalian." [Hadist ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Sahih-nya, dalam kitab Al Fadlail, dari riwayat Thalhah, Rafi' bin Khudaij, A'isyah, dan Anas r.a. (hadist-hadist no. 2361-2363) dari Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fu'ad Abdul Baqy. Akan disebutkan riwayatnya secara lengkap pada halaman selanjutnya]
Sebagian dari mereka ada yang berusaha menafikan adanya sistem politik dalam Islam secara total, dengan berdasarkan hanya satu hadits ini saja. Karena, menurut mereka, masalah politik, baik pokok maupun parsialnya, adalah urusan duniawi kita, maka otomatis kita lebih tahu tentangnya. Wahyu tidak mempunyai kompetensi untuk memberikan aturan dan petunjuk dalam masalah ini. Bagi mereka, Islam adalah agama tanpa negara, dan aqidah tanpa syari'ah!.
Sebagian yang lain berusaha menafikan adanya sistem ekonomi dalam Islam, juga dengan bersandarkan pada satu hadits ini!. Seorang sahabat pernah berdialog denganku pada seperempat abad yang lalu. Ia menafikan Islam mempunyai teori ekonomi, baik secara hukum, aturan dan praktek. Salah satu landasannya yang paling kuat adalah hadits ini. Aku telah merekam dialog tersebut, dan aku sebutkan dalil-dalil yang ia pergunakan--lebih tepatnya alasan-alasan yang dibuat-buat--, kemudian aku bantah semua dalil-dalil itu pada salah satu buku yang aku tulis.
Yang terpenting, ada sebagian orang yang ingin menghancurkan seluruh hadits-hadits yang tercatat dalam kitab-kitab hadits, yang mengatur masalah perdagangan, mu'amalah, hubungan sosial, ekonomi dan politik hanya dengan satu hadits ini saja. Seakan-akan Rasulullah Saw. mensabdakan hadits ini untuk menasakh 'menghapus' seluruh sabda, perbuatan dan persetujuannya yang lain, yang tercatat sebagai hadits yang suci!.
Sikap ekstreem sebagian manusia ini mendorong seorang ulama besar, seperti muhaddits Syeikh Ahmad Syakir, memberikan komentar atas hadits ini, dalam Musnad Imam Ahmad [Lihat: Komentar atas hadits nomor 1395 dari kitab Musnad Ahmad, dengan tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, cet. Daar Ma'arif.] Ia berkata: "Hadits ini telah didengung-dengungkan oleh orang-orang atheis Mesir dan orang-orang yang terbaratkan, seperti para budak orientalis dan murid para missionaris, sebagai dalil untuk menyerang ahli sunnah dan orang-orang yang mendukung sunnah, serta orang-orang yang bergelut dalam bidang syari'ah Islam. Mereka berusaha menghapus seluruh sunnah, dan mengingkari syari'ah Islam, dalam mengatur mu'amalah, tatanan sosial, dan sebagainya. Mereka berpendapat bahwa semua itu adalah urusan dunia. Dengan berdasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Anas:
"Kalian lebih tahu tentang urusan dunia Kalian". Allah SWT lebih tahu bahwa mereka tidak mempercayai pokok agama, ketuhanan dan risalah kenabian. Serta dalam diri mereka tidak mempercayai Al Quran. Jikapun dari mereka itu ada yang beriman, maka ia hanya berimana di ujung lidahnya saja, sedangkan hatinya mengimani yang sebaliknya. Mereka tidak beriman dengan sepenuh keyakinan, namun semata karena taklid dan takut saja. Maka jika ada suatu kandungan syari'ah Islam, Al Quran dan sunnah yang bertentangan dengan apa yang mereka pelajari di Mesir atau di Eropa, mereka tanpa ragu-ragu mengagungkan dan memihak kepada apa yang ada di Eropa. Mereka segera memilih apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka, dan apa yang disenangi oleh hati mereka!. Kemudian, setelah itu, mereka menisbahkan diri mereka, atau orang menisbahkan mereka kepada Islam !!.
Hadits tersebut amat jelas, tidak bertentangan dengan Al Quran, dan tidak menjadi landasan untuk menafikan sunnah sebagai sumber hukum dalam segala urusan. Karena hadits tersebut datang dalam masalah pembuahan kurma. Ketika, pada suatu saat Rasulullah Saw. Bersabda: "Aku pikir, perbuatan itu tidak akan menghasilkan apa-apa". Sabda Rasulullah Saw. tersebut tidak bermuatan larangan atau perintah. Dan tidak sedang menyampaikan pesan dari Allah SWT Serta beliau tidak menjadikannya sebagai sunnah, sehingga maknanya terus meluas dan menjadi landasan untuk merobohkan pokok syari'ah Islam."

Makna: "Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian"

Maka, apa makna hadits ini: "Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian?"
Maknanya amat jelas. Yaitu agama tidak turut campur dalam urusan-urusan manusia yang didorong oleh insting dan kebutuhan duniawinya. Kecuali jika telah terjadi sikap berlebihan, mengurangi atau penyimpangan. Dan agama akan turut campur tangan untuk mengaitkan seluruh gerak manusia --yang bersipat insting atau biasa-- dengan tujuan-tujuan Rabbaniah yang luhur serta akhlak yang mulia. Kemudian memberikan tuntunan etika kemanusian yang luhur dalam melaksanan semua tugas tersebut, sehingga membedakan manusia dari hewan.
Kami akan berikan beberapa contoh tentang perkara keduniaan, serta sikap Islam terhadapnya.

1. Perang

Perang, Misalnya. Islam datang menentukan tujuan-tujuan berperang, memerintahkan manusia untuk bersiap menghadapi peperangan, bersikap waspada terhadap musuh, serta menyiapkan segala kekuatan untuk itu. Seperti firman Allah SWT
"Hai orang-orang yang beriman, bersiap-siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! ". ( QS. An-Nisa: 71)
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu ". ( QS. Al Anfal: 60 )
"Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus". ( QS. An-Nisa: 102)
Dan sabda Rasulullah Saw:
"Ketahuilah, kekuatan adalah dalam memanah (menombak, menembak)." [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari hadits 'Uqbah bin 'Amir, dalam kitab Al Imarah dengan nomor: 1917]
"Barangsiapa telah belajar memanah [menombak, menembak] kemudian ia melupakannya, berarti ia telah kufur ni'mat." [Hadits ini diriwayatkan oleh Daud, An-Nasai, dan Hakim mensahihkannya serta disetujui oleh Adz-Dzahabi. Seperti tertulis dalam Al Mustadrak 2/95 dari hadits 'Uqbah bin 'Amir. Lihatlah buku kami: Al Muntaqa min at-Targhib wa at-Tarhib" juz 1 hal. 361-62]
"Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka ia berada di jalan Allah." [Hadits muttafaq alaih. Lihat: Al-Lu'lu wa al Marjan fima ittafaqa Syaikhan, Muhammad Fu'ad Abdul Baqi 1243, 1244. Yaitu dari hadits Abi Musa]
Serta memberikan landasan etika yang harus diikuti dalam berperang:
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas". ( QS. Al Baqarah: 190). Dalam hadits:
"Janganlah kalian bersikap tidak jujur (dalam masalah ghanimah), jangan pula berhianat, dan jangan menghancurkan mayat musuh, serta jangan pula membunuh anak kecil ... dst." [Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Buraidah dalam kitab Al Jihad, no. 1331]
Sedangkan masalah macam senjata yang digunakan dalam berperang, cara membuatnya, serta bagaimana mempergunakannya dan lainnya, semua itu bukan urusan agama. Tetapi menjadi urusan dan tanggungjawab menteri pertahanan serta pimpinan angkatan bersenjata.
Pada suatu masa, senjata yang digunakan adalah pedang, tombak dan panah. Pada masa selanjutnya manjanik (alat pelontar batu dan bara api, penj). Kemudian berkembang menjadi senjata api dan mortir. Sementara pada masa berikutnya menggunakan bom dan peluru kendali.
Pada suatu masa, tentara menggunakan kuda. Pada waktu lain menggunakan gajah. Dan pada masa berikutnya menggunakan tank, kapal udara atau kendaraan luar angkasa.
Tuntunan agama bagi peperangan pada era kuda, sama dengan tuntunannya bagi peperangan luar angkasa.
Tujuannya sama: Yaitu untuk meninggikan kalimat Allah". Adabnya sama. Yaitu:
"... dan janganlah kalian berhianat serta jangan pula menghancurkan mayat musuh."
"... dan janganlah kalian berlebihan, karena Allah tidak menyukai orang yang bersikap berlebihan".
Persiapan kekuatan semampu mungkin, bersikap waspada terhadap musuh, serta melatih umat, juga sama. Alat-alat dan perangkat dapat berubah, sementara ajaran dan tujuannya adalah tetap.

2. Pertanian

Contoh lain adalah pertanian.
Islam mendorong untuk memperhatikan profesi pertanian. Dan menjanjikan kepada para petani ganjaran yang paling baik di sisi Allah SWT
"Setiap muslim yang menanam suatu tanaman atau suatu tumbuhan, kemudian tanamannya itu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, maka itu akan menjadi sadaqah baginya." [Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Al Muzara'ah, dan oleh Muslim dalam kitah Al Masaqah, dari hadits Anas. Lihat: Al-Lu'lu wa al Marjan fima Ittafaqa Alaihi Asy-Syaikhan, Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, juz 2 no. 1001]
Akan tetapi agama tidak turut campur untuk mengajarkan manusia bagaimana menanam, apa yang ditanam, kapan menanam, dengan apa menamam, dan dengan apa mengairi tanamannya itu. Apakah dengan timba, atau dengan alat mekanik, dengan pengairan tradisional, dengan spray atau dengan cara lainnya.
Agama tidak turut campur dalam masalah ini dan bukan bidangnya. Ini adalah urusan kementrian pertanian dan instansi yang berkaitan!.
Alat pertanian telah berkembang dengan pesat. Dimulai dari alat pertanian yang ditarik kerbau menjadi mesin mekanik. Cara dan alat pengairanpun telah berubah, dari ember-ember yang berputar menjadi alat-alat mekanik modern. Dari pengairan dengan cara dialirkan menjadi penyemprotan dengan spray. Namun, itu semua tidak merubah sikap dan ajaran agama yang telah tetap.

3. Pengobatan

Contoh lainnya, untuk menambah kejelasan, adalah tentang pengobatan. Sejak zaman baheula manusia memahami penyakit sebagai suatu takdir yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Dan, apa yang telah ditakdirkan oleh Allah pasti akan terjadi, dengan demikian apa manfaat berobat? Nabi Saw. memperhatikan hal ini, dan menjelaskan kepada manusia bahwa penyakit adalah dari Allah, dan obat juga dari Allah SWT
"Wahai hamba Allah: Berobatlah, karena Allah tidak hanya menurunkan penyakit, namun juga menurunkan obat. Kecuali bagi satu penyakit ini: Tua." [Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan penulis kitab sunan yang lain, serta Ibnu Hibban dan Hakim dari Usamah bin Syarik. Seperti terdapat dalam kitab Al Jami' Shagir wa Ziadatuhu, no. 9734]
"Allah tidak hanya menurunkan penyakit, namun juga menurunkan obat." [Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Majah dari Ibnu Mas'ud, seperti tertulis dalam kitab Al Jami' ash-Shagir, no. 5558]
"Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada barang yang diharamkan atasmu." [Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ibnu Mas'ud secara mauquf dan mu'allaq, dalam Ath-Thibb. Kemudian Ibnu Syaibah menyambungnya dan sanadnya sahih]
Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang berobat: Apakah berobat akan merubah qadar yang telah ditentukan?. Rasulullah Saw. Menjawab:
"Ia juga termasuk qadar Allah.." [Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmizi dalam bab-bab Ath-Thib no. 2066, cet. Himsha, ia berkata: Hadits ini hasan. Juga ia tulis dalam bab Al Qadar, no. 2149. Oleh Ibnu Majah dalam Ath-Thib no. 3437. Ahmad dalam Al Musnad 3/421. Serta Al Hakim dalam Al Mustadrak 4/199 dan 402 dan ia mensahihkannya. Dan Albani mensahihkan hadits ini dalam mentakhrijkan bukuku Musykilat Al Faqr Wa Kaifa 'Alajaha al Islam, no. 11]
Dengan demikian, segera dapat dipahami, bahwa Rasulullah Saw. menganjurkan untuk memelihara pisik dan menjaganya dari seluruh penyakit. Karena pisik adalah bekal orang mu'min untuk berjihad dan untuk menunaikan kewajibannya kepada Rabb-nya, dirinya, keluarga dan masyarakat seluruhnya.
Sedangkan masalah obat. Apa obat itu? Bagaimana membuatnya? Dari bahan apa? Berapa ukurannya? Dan seterusnya... semua itu bukan urusan agama. Namun urusan dan tanggungjawab kementrian kesehatan serta instansi yang berkaitan.
Namun anjuran agama untuk berobat, serta tidak berobat dengan barang yang haram terus berlaku. Dan perintah untuk memelihara tubuh juga terus berjalan, tidak terhapus atau tergantikan.
Inilah pengertian dari hadits: "Kalian lebih tahu tentang urusan Kalian". Bukan maksudnya mengucilkan agama dari kehidupan duniawi. 

Berinteraksi dengan Al Qur'an

"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya." ( Al Kahfi: 1-3)
Salawat serta salam bagi Nabi yang mu'jizatnya Al Qur'an, imamnya Al Qur'an, akhlaqnya Al Qur'an, dan penghias dadanya, cahaya hatinya juga penghilang kesedihannya adalah Al Qur'an: Nabi Muhammad bin Abdullah, dan keluarganya serta para sahabatnya, yang beriman dengannya, mendukung dan membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan kepadaanya, mereka adalah orang-orang yang beruntung, dan seluruh orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Amma ba'du:
Rabb kita telah memberikan kemuliaan kepada kita --sebagai kaum Muslimin-- dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang diturunkan kepada manusia. Rabb kita juga, telah memuliakan kita dengan mengutus nabi yang terbaik yang pernah diutus kepada manusia. Sesuai firman Allah SWT:
"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?" (Al Anbiyaa: 10).
Kitalah, kaum muslimin, satu-satunya umat yang memeliki manuskrip langit yang paling autentik, yang mengandung firman-firman Allah SWT yang terakhir, yang diberikan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia. Dan anugerah itu terus terpelihara dari perubahan dan pemalsuan kata maupun makna. Karena Allah SWT. telah menjamin untuk memeliharanya, dan tidak dibebankan tugas itu kepada siapapun dari sekalian makhluk-Nya:
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al Hijr: 9).
Al Qur'an adalah kitab Ilahi seratus persen: "(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (Huud: 1)
"Dan sesungguhnya Al Qur'an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji." ( Fush-shilat: 41-42)
Tidak ada di dunia ini, suatu kitab, baik itu kitab agama atau kitab biasa, yang terjaga dari perubahan dan pemalsuan, kecuali Al Qur'an. Tidak ada seorangpun yang dapat menambah atau mengurangi satu hurup-pun darinya.
Ayat-ayatnya dibaca, didengarkan, dihapal dan dijelaskan, sebagaimana bentuknya saat diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan ruh yang terpercaya (Jibril).
Al Quran berisikan seratus empat belas surah. Seluruhnya dimulai dengan basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Kecuali satu surah saja, yaitu surah at Taubah. Ia tidak dimulai dengan basmalah. Dan tidak ada seorang pun yang berani untuk menambahkan basmalah ini pada surah at Taubah, baik dengan tulisan atau bacaan. Karena, dalam masalah Al Qur'an ini, tidak ada tempat bagi akal untuk campur tangan.
Perhatian kaum muslimin terhadap Al Quran sedemikian besarnya, hingga mereka juga menghitung ayat-ayatnya --bahkan kata-katanya, dan malah hurup-hurupnya--. Maka bagaimana mungkin seseorang dapat menambah atau mengurangi suatu kitab yang dihitung kata-kata dan hurup-hurupnya itu?!
Tidak ada di dunia ini suatu kitab yang dihapal oleh ribuan dan puluhan ribu orang, di dalam hati mereka, kecuali Al Qur'an ini, yang telah dimudahkan oleh Allah SWT untuk diingat dan dihapal. Maka tidak aneh jika kita menemukan banyak orang, baik itu lelaki maupun perempuan, yang menghapal Al Qur'an dalam mereka. Ia juga dihapal oleh anak-anak kecil kaum Muslimin, dan mereka tidak melewati satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Demikian juga dilakukan oleh banyak orang non Arab, namun mereka tidak melewati satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Dan salah seorang dari mereka, jika Anda tanya: "siapa namamu?" --dengan bahasa Arab-- niscaya ia tidak akan menjawab! (Karena tidak paham bahasa Arab!, penj.). Ia menghapal Kitab Suci Rabbnya semata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, meskipun ia tidak memahami apa yang ia baca dan ia hapal, karena ia tertulis dengan bukan bahasanya.
Al Qur'an tidak semata dijaga makna-makna, kalimat-kalimat serta lafazh-lafazhnya saja, namun juga cara membaca dan makhraj hurup-hurupnya. Seperti kata mana yang harus madd (panjang), mana yang harus ghunnah (dengung), izhhar (jelas), idgham (digabungkan), ikhfa (disamarkan) dan iqlab (dibalik). Atau seperti yang digarap oleh suatu ilmu khusus yang dikenal dengan "ilmu tajwid Al Qur'an".
Hingga rasam (metode penulisan) Al Qur'an, masih tetap tertulis dan tercetak hingga saat ini, seperti tertulis pada era khalifah Utsman bin Affan r.a., meskipun metode dan kaidah penulisan telah berkembang jauh. Hingga saat ini, tidak ada suatu pemerintah muslim atau suatu organisasi ilmiah pun, yang berani merubah metode penulisan Al Qur'an itu, dan menerapkan kaidah-kaidah penulisan yang berlaku bagi seluruh buku, media cetak, koran dan lainnya yang ditulis dan dicetak, bagi Al Qur'an.
Allah SWT menurunkan Al Qur'an untuk memberikan kepada manusia tujuan yang paling mulia, dan jalan yang paling lurus.
"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus." (Al Israa: 9)
"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." ( Al Maaidah: 15-16)
Al Qur'an adalah "cahaya" yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, di samping cahaya fithrah dan akal:
"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)." (An Nuur: 35). Dan Al Qur'an mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai cahaya, dalam banyak ayat.
Seperti dalam firman Allah SWT:
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu'jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an)." (An Nisaa: 174)
"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al Qur'an) yang telah Kami turunkan." (At Taghaabun: 8).
Dan berfirman kepada para sahabat Rasulullah Saw dengan firman-Nya:
"Dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an)." (Al A'raaf: 157)
Di antara karakteristik cahaya adalah: Dirinya sendiri telah jelas, kemudian ia memperjelas yang lain. Ia membuka hal-hal yang samar, menjelaskan hakikat-hakikat, membongkar kebatilan-kebatilan, menolak syubhat (kesamaran), menunjukkan jalan bagi orang-orang yang sedang kebingungan saat mereka gamang dalam menapaki jalan atau tidak memiliki petunjuk jalan, serta menambah jelas dan menambah petunjuk bagi orang yang telah mendapatkan petunjuk. Dan jika Al Qur'an mendeskripsikan dirinya sebagai "cahaya", dan dia adalah "cahaya yang istimewa", ia juga mendeskripsikan Taurat dengan kata yang lain:
"Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)."
Seperti dalam firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)". (Al Maaidah: 44)
Demikian juga mendeskripsikan Injil seperti itu, seperti dalam firman Allah SWT tentang Nabi 'Isa:
"Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) ." (Al Maidah: 46)
Perbedaan dalam dua pengungkapan itu menunjukkan perbedaan antara Al Qur'an dengan kitab-kitab suci lainnya. Seperti diungkapkan oleh Al Bushiry dalam Lamiah-nya:
"Maha Besar Allah, sesungguhnya agama Muhammad Dan kitab sucinya adalah kitab suci yang paling lurus dan paling teguh Jangan sebut kitab-kitab suci lainnya di depannya Karena, saat mentari pagi telah bersinar, ia akan memadamkan pelita-pelita".
Hal itu karena Al Qur'an ini datang untuk membenarkan kitab-kitab suci yang telah turun sebelumnya. Yaitu yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah dan akhlak, sebelum kitab-kitab itu dipalsukan dan diubah tangan manusia. Al Qur'an juga mengungguli kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dengan mengoreksi dan meluruskan tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang telah disisipkan oleh manusia dalam kitab-kitab itu. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu." (Al Maaidah: 48)
Al Qur'an --sebagaimana ia diturunkan oleh Allah SWT-- mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya istimewa dibanding kitab suci lainnya. Ia adalah kitab Ilahi, kitab suci yang menjadi mukjizat, kitab yang memberikan penjelasan dan dimudahkan untuk dipahami, kitab suci yang dijamin pemeliharaan keautentikannya, kitab suci bagi agama seluruhnya, kitab bagi seluruh zaman, dan kitab suci bagi seluruh manusia.
Al Qur'an juga mempunyai maksud dan tujuan yang dibidiknya, di antaranya: meluruskan kepercayaan-kepercayaan dan pola pandang manusia tentang Tuhan, kenabian, dan balasan atas amal perbuatan, serta meluruskan pola pandangan tentang manusia, kemuliaannya dan menjaga hak-haknya, terutama bagi kalangan yang lemah dan tidak berpunya.
Ia juga bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan Rabbnya, agar manusia hanya menyembah-Nya semata dan bertaqwa kepada-Nya dalam seluruh urusannya.
Al Qur'an juga bertujuan untuk membersihakan jiwa manusia, yang jika jiwa itu telah bersih niscaya bersih dan baiklah seluruh masyarakat. Dan jika jiwa itu rusak, niscaya rusaklah masyarakat seluruhnya.
Ia juga berusaha membentuk keluarga yang kemudian menjadi pangkal kedirian suatu masyarakat. Juga mengajarkan sikap adil terhadap kalangan perempuan, yang merupakan pokok utama dalam bangunan keluarga.
Al Qur'an juga membangun umat yang saleh, yang dianugerahkan amanah untuk menjadi saksi bagi manusia, yang diciptakan untuk memberikan manfaat bagi manusia dan memberikan petunjuk bagi mereka.
Setelah itu, mengajak untuk menciptakan dunia manusia yang saling kenal mengenal dan tidak saling mengisolasi diri, saling memberi maaf dan tidak saling membenci secara fanatik, serta untuk bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan, bukan dalam kejahatan dan permusuhan.
Kita berkewajiban untuk memperlakukan Al Qur'an ini secara baik: dengan menghapal dan mengingatnya, membaca dan mendengarkannya, serta mentadabburi dan merenungkannya.
Kita juga berkewajiban untuk berlaku baik terhadapnya dengan memahami dan menafsirkannya. Tidak ada yang lebih baik dari usaha kita untuk mengetahui kehendak Allah SWT terhadap kita. Dan Allah SWT menurunkan kitab-Nya agar kita mentadabburinya, memahami rahasia-rahasianya, serta mengeksplorasi mutiara-mutiara terpendamnya. Dan setiap orang berusaha sesuai dengan kadar kemampuannya.
Namun yang disayangkan, dalam bidang ini telah terjadi kerancuan yang berbahaya, yaitu dalam memahami dan menafsirkan Al Qur'an. Oleh karena itu harus dibuat rambu-rambu dan petunjuk yang mampu menjaga dari kekeliruan dalam usaha ini, serta perlu diberikan peringatan tentang ranjau-ranjau yang menghadang di jalan, yang dapat berakibat patal jika dilanggar.
Tidak selayaknya umat Al Qur'an mengalami hal yang sama yang pernah terjadi dengan umat Taurat, yang diungkapkan oleh Al Qur'an dalam firman-Nya:
"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." (Al Jumu'ah: 5).
Kita juga harus berlaku baik terhadap Al Qur'an dengan mengikuti petunjuknya, mengerjakan ajarannya, menghukum dengan syari'atnya serta mengajak manusia mengikuti petunjuknya. Ia adalah manhaj bagi kehidupan individu, undang-undang bagi aturan politik, serta petunjuk dalam berdakwah kepada Allah SWT.
Inilah yang berusaha dilakukan buku ini dalam empat bab utamanya, dengan bertumpu --terutama-- pada Al Qur'an itu sendiri, karena ia adalah objek kita, namun ia juga petunjuk itu.
Umat kita pada abad-abad pertama --yang merupakan abad-abad yang paling utama-- telah berinteraksi dengan baik terhadap Al Qur'an. Mereka berlaku baik dalam memahaminya, mengetahui tujuan-tujuannya, berlaku baik dalam mengimplementasikannya secara massive dalam kehidupan mereka, dalam bidang-bidang kehidupan yang beragam, serta berlaku baik pula dalam mendakwahkannya. Contoh terbaik hal itu adalah para sahabat. Kehidupan mereka telah diubah oleh Al Quran dengan amat drastis dan revolusioner. Al Qur'an telah merubah mereka dari perilaku-perilaku jahiliyah menuju kesucian Islam, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke dalam cahaya. Kemudian mereka diikuti oleh murid-murid mereka dengan baik, untuk selanjutnya murid-murid generasi berikutnya mengikuti murid-murid para sahabat itu dengan baik pula. Melalui mereka itulah Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia, membebaskan negeri-negeri, memberikan kedudukan bagi mereka di atas bumi, sehingga mereka kemudian mendirikan negara yang adil dan baik, serta peradaban ilmu dan iman.
Kemudian datang generasi-generasi berikutnya, yang menjadikan Al Qur'an terlupakan, mereka menghapal hurup-hurupnya, namun tidak memperhatikan ajaran-ajarannya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara benar dengannya, tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas Al Qur'an, tidak menganggap besar apa yang dinilai besar oleh Al Qur'an serta tidak menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh Al Qur'an. Di antara merek ada yang beriman dengan sebagiannya, namun kafir dengan sebagiannya lagi, seperti yang dilakukan oleh Bani Israel sebelum mereka terhadap kitab suci mereka. Mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan Al Qur'an, seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Meskipun mereka mengambil berkah dengan membawanya serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan ayat-ayat Al Qur'an, namun mereka lupa bahwa keberkahan itu terdapat dalam mengikut dan menjalankan hukum-hukumnya. Seperti difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat." (Al An'aam: 155)
Tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, ketertinggalan dan keterpecah-belahan mereka selain dari kembali kepada Al Qur'an ini. Dengan menjadikannya sebagai panutan dan imam yang diikuti. Dan cukuplah Al Qur'an sebagai petunjuk:
"Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?." (An Nisaa: 122)

 



  



 

PERSAUDARAAN MUSLIM

Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Miss u all !!! 
Cukup banyak himbauan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah untuk menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan diantara kaum Muslimin, antara lain bisa dilihat misalnya dalam :
"Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu saling bersaudara."
(Qs. al-Hujurat 49:10)
"Dan orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong [wali] bagi sebagian yang lain." (Qs. at-Taubah 9:71)
Dalam beberapa Haditsnya Rasulullah Saw pun bersabda :
"Janji keselamatan bagi kaum Muslim berlaku atas mereka semua, dan mereka semua seia-sekata dalam menghadapi orang-orang selain mereka. Barangsiapa melanggar janji keamanan seorang Muslim, maka kutukan Allah, Malaikat dan manusia sekalian tertuju kepadanya dan tidak diterima darinya tebusan atau pengganti apapun pada hari kiamah kelak."
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia menganiayanya dan tidak pula membiarkannya dianiaya. Barangsiapa mengurusi keperluan saudaranya sesama Muslim, niscaya Allah akan memenuhi keperluannya sendiri. Dan barangsiapa membebaskan beban penderitaan seorang Muslim, maka Allah akan membebaskan penderitaannya dihari kiamat kelak. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya dihari kiamat."
"Hindarkan dirimu dari persangkaan buruk, sesungguhnya yang demikian itu adalah sebohong-bohong perkataan. Jangan mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan bersaingan menawar barang dengan maksud merugikan orang lain, jangan saling menghasut, jangan saling bermusuhan dan jangan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya sesama Muslim lebih dari 3 hari."
"...Lantaran itu, damaikanlah diantara dua saudara kamu dan berbaktilah kepada Allah agar kamu diberi rahmat."
(Qs. al-Hujurat 49:10)
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah sebagian dari kamu mengumpat sebagian yang lain; apakah suka seseorang dari kamu memakan daging bangkai saudaranya ? Tentu kamu akan merasa jijik kepadanya ! Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Pengampun, Penyayang."
(Qs. al-Hujurat 49:12)
Telah diketahui secara pasti bahwa hanya dengan Islam dan beriman secara sungguh-sungguh, seorang hamba dapat meraih puncak keridhoan Allah azza wajalla. Ulama-ulama dari Ahlus-Sunnah bersepakat bahwa hakikat Islam dan Iman adalah pengucapan 2 kalimah syahadat, pembenaran adanya hari kebangkitan, mendirikan sholat 5 waktu karena Allah, melaksanakan ibadah Haji bila mampu, berpuasa dibulan Ramadhan serta mengeluarkan zakat.
Bukhari dalam kumpulan hadistnya telah meriwayatkan beberapa sabda Rasulullah Saw :
"Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, menghadap kiblat kita, mengerjakan sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama sebagai Muslim lainnya."
Berdasarkan ayat-ayat Allah dan fatwa Nabi Muhammad Saw diatas, adalah tidak pada tempatnya kita selaku manusia yang mengaku beragama Islam dan mengaku telah beriman secara Kaffah menciptakan suasana rusuh dan mengobarkan semangat perpecahan dikalangan sesama Muslim.
Maukah kita mendapatkan kecaman dari Allah dan Rasul-Nya ?
Umat Islam sudah cukup lama terombang-ambing dalam gelombang perpecahan aneka ragam alirannya dan masing-masing pihak merasa hanya kaumnya sajalah yang paling benar serta layak memasuki syurga dan selain kaum mereka ini maka kaum lainnya berada pada posisi salah dan halal neraka baginya.
Tidak urung ayat-ayat al-Qur'an dan Hadist-hadist Nabi justru dijadikan ujung tombak untuk menghantam lawan bicaranya sesama Muslim, entah itu mereka yang menisbatkan diri dalam jemaah Ahlus-Sunnah, Syi'ah, Muktazilah, Khawarij, Ahmadiyah dan sebagainya.
Tidakkah mereka sadar bahwa yang mereka perdebatkan ini tidak lain adalah sesuatu penafsiran terhadap hal yang sama dalam sudut pandang yang berbeda.
Imam Ali bin Abu Thalib r.a, adalah contoh teladan kedua sesudah Rasulullah Saw yang mengajarkan mengenai hakikat persaudaraan sesama Muslim, menghargai keutuhan persatuan umat dibawah panji-panji kebenaran Tauhid.
Beliau menolak mengikuti keinginan sebagian dari para sahabat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Abu Bakar sepeninggal Rasulullah Saw, dan disaat ia menjabat selaku Khalifah, sikap ini terus dipertahankannya bahkan dalam medan pertempurannya menghadapi gerakan 'Aisyah pada peristiwa perang Jamal dan disaat menghadapi pemberontakan kelompok Muawiyah.
Imam Ali bin Abu Thalib r.a, begitu mengedepankan rasa persaudaraan antar umat Muslim diatas perasaan dirinya pribadi sehingga beliaupun rela mendapat kecaman dari sejumlah orang atas sikapnya yang lunak dengan Muawiyah yang mengakibatkan pecahnya pemberontakan kaum Khawarij sampai terbunuhnya beliau dalam salah satu kesempatan.
Tindakan dan sikap yang diambil oleh Khalifah ke-4 yang juga menantu Nabi Muhammad Saw ini sudah pasti bukan tindakan yang tidak disertai pertimbangan dan kearifan yang tinggi, sebagai salah seorang sahabat dan keluarga terdekat dari Rasulullah, Imam Ali bin Abu Thalib r.a, tentunya merupakan orang yang paling mengerti mengenai Islam dan ia bukan seorang yang pengecut.
Dengan demikian, hendaklah kiranya kaum Muslimin sekarang ini sudi untuk merenung dan menganalisa secara bijak mengenai perpecahan yang terjadi diantara mereka, perpecahan yang mengarah kepada permusuhan dan kebencian bukan menjadi satu rahmat namun justru merupakan malapetaka.
Kehormatan seorang Muslim haruslah dijunjung tinggi meskipun mungkin Muslim tersebut memiliki sudut pandang berbeda dengan kita terhadap hal-hal tertentu, ini bukan alasan untuk mengkafirkan mereka apalagi menumpahkan darahnya dengan mengatasnamakan kebenaran.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdu Dzar :
"Telah berkata Nabi Saw kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: 'Barangsiapa diantara umatmu meninggal dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk syurga."; kemudian aku bertanya: 'Kendatipun ia pernah berzina dan mencuri ?"; Jawab Nabi Muhammad Saw: "Ya, walaupun ia pernah berbuat hal itu."
Hadist diatas ini bukan bertendensikan menghalalkan tindakan kejahatan atas umat Muhammad Saw akan tetapi memiliki orientasi kepada pengagungan harkat dan martabat seorang Muslim.
Jelas bahwa Allah tidak lalai dari apa yang kita kerjakan, suatu perbuatan yang negatif, apabila dilakukan secara terus menerus tentunya akan menyebabkan ketergeseran derajat kemanusiaan seseorang dihadapan Allah, dan lambat laun seorang Muslim-pun dapat menjadi seorang yang fasik atau munafik dan tidak menutup kemungkinan dia malah menjadi kafir kepada Allah sehingga jaminan Allah ini menjadi hilang atas dirinya.
Diberbagai tempat kita meributkan masalah ke-Khalifahan, orang Syi'ah merasa lebih tinggi dari ahlus-Sunnah dan sebaliknya kaum ahli-Sunnah pun tidak jarang malah memperolok-olokkan kaum Syi'ah dan bahkan beberapa diantaranya sampai mengkafirkan mereka hanya karena mereka lebih mencintai ahli Bait Nabi Muhammad Saw dan mengeluarkan kritikan-kritikan pedas atas beberapa Muslim generasi awal.
Fenomena Ahmadiyah juga menggelitik sejumlah umat Islam untuk mendeskreditkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan fatwa tidak syahnya status ke-Islaman semua Jemaah ini.
Dikalangan ahlus-Sunnah terdapat banyak Madzhab yang dipimpin oleh Imamnya masing-masing, diantaranya yang terbesar adalah Imam Hambali, Syafi'i, Maliki dan Hanafi, ke-4 Jemaah ini memiliki banyak sekali perbedaan-perbedaan didalam penafsiran atas ayat-ayat Allah dan juga petunjuk Rasul-Nya, dimulai dari masalah Thaharah, Sholat, Puasa, Nikah, Talak dan seterusnya.
Dibalik beberapa kesamaannya, masing-masing mereka memberikan argumen dari sudut pandang yang berbeda tentang banyak hal yang sama.
Padahal, apabila kita ingin berbicara jujur, perselisihan yang terjadi antar umat Islam dan antar Jemaah maupun Mazhab hanyalah karena masing-masing memiliki penafsiran berbeda tentang al-Qur'an dan Hadist Rasul, namun apakah hal ini bisa menjadikan satu alasan untuk memberikan vonis kekafiran kepada mereka ?
Andaikanlah diantara penafsiran sebagian dari mereka ini menyimpang dari apa yang seharusnya, namun ini tetap saja belum mengeluarkan status ke-Islaman yang melekat pada diri mereka, tentunya selama mereka tetap berpegangkan kepada satu Kalimah "Tidak ada Tuhan tempat mengabdi selain Allah, Tuhan yang memiliki nama-nama terbaik dan memiliki sifat-sifat suci, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan."
Kehormatan seorang Muslim tetap terjamin meskipun dia mengucapkan kalimah "La ilaha illa Allah" sebagai penyelamat dari suatu usaha pembunuhan, dan ini diceritakan oleh banyak perawi Hadist.
Muslim dalam salah satu hadist yang diriwayatkannya dari berbagai saluran ada menceritakan :
"Bahwa suatu hari 'Utban bin Malik al-Anshari mengunjungi Rasulullah Saw dan meminta agar beliau mau singgah kerumahnya dan sholat didalamnya, karena ia ingin menjadikannya Musholla. Dalam satu pembicaraan diantara mereka, Nabi menanyakan keberadaan salah seorang dari sahabat 'Utban yang bernama Malik bin Ad-Dukhsyun bin Ghunm bin 'Auf bin 'Amr bin 'Auf yang diketahui sebagai orang yang munafik.
Beberapa sahabat keheranan dan mencoba mengingatkan Nabi bahwa 'Utban itu adalah orang yang munafik, tapi Nabi mengeluarkan jawaban : "Jangan berkata demikian, tidakkah kamu melihatnya telah berucap "La ilaha illa Allah" semata-mata demi keridhoan Allah ?"; diantara para sahabat masih ada yang penasaran dan mencoba kembali mengeluarkan argumennya : "Memang benar ia mengucapkan yang demikian, namun tidak disertai dengan ketulusan hatinya, sungguh kami sering melihatnya pergi dan berkawan dengan orang-orang munafik."
Nabi menjawab : "Tiada seorangpun bersaksi bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku adalah Rasul Allah yang akan dimasukkan kedalam api neraka atau menjadi umpannya."
Demikianlah seharusnya kita didalam berpijak, tidak mudah melemparkan tuduhan kepada seseorang atau sekelompok kaum hanya karena berbeda pendapat dengan diri kita, sedangkan bagi orang yang jelas-jelas seperti Malik bin Ad-Dukhsyun saja Rasulullah Saw tidak melemparkan ucapan kekafiran atasnya dan malah mengedepankan rasa baik sangka sebagaimana yang diajarkan oleh Allah.
Satu keselarasan yang bisa kita kemukakan disini satu ayat al-Qur'an :
"Sesungguhnya orang-orang Mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima ganjaran dari Tuhan mereka, tidak ada ketakutan terhadap mereka, dan tidak berduka cita."
(Qs. al-Baqarah 2:62)
Nyata sekali bahwa jangankan kepada orang yang mengakui ke-Rasulan Muhammad Saw bin Abdullah, bahkan bagi mereka yang tidak mengakui kenabian Muhammad pun yang dalam istilah kita sekarang ini termasuk dalam kategori Unitarian tetap mendapatkan jaminan dari Allah untuk memperoleh ganjaran disisi-Nya selama mereka tidak mengadakan Tuhan-Tuhan dalam bentuk apapun selain Allah yang Maha Esa, yang Tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang tidak memiliki kesetaraan dengan apapun dalam keyakinan mereka.
Kita seringkali terlalu banyak memperturutkan rasa ke-egoismean semata didalam menghadapi orang yang tidak sejalan dengan kita yang akibat dari semua ini akan menyulut konflik berkepanjangan dan tidak berkesudahan.
al-Qur'an dalam surah ali Imran (3) ayat ke 159 menganjurkan untuk mengadakan musyawarah didalam mencapai jalan keluar terbaik, selain itu ; juga dalam Surah yang lain, al-Qur'an pun memberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan dialog pertukar pikiran secara baik-baik dan saling menghargai.
Seorang manusia dilarang mencemooh manusia lainnya berdasarkan firman Allah dalam surah al-Hujurat (49) ayat 11 dan beberapa firman Allah berikut ini pun harus menjadi renungan tambahan bagi kita :
"Sesungguhnya mereka yang suka akan tersebarnya keburukan dikalangan kaum beriman akan mendapatkan azab yang pedih didunia dan akhirat..."
(Qs. an-Nur 24:19)
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian kamu atas satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil.
Berbuatlah adil, ini lebih mendekatkan kamu kepada ketakwaan; takutlah kamu kepada Allah sebab Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(Qs. al-Maidah 5:8)
Kita acapkali jengkel dengan penafsiran segelintir jemaah terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan juga al-Hadist, mereka memutar balikkan semuanya sekehendak hati mereka sehingga masing-masing merasa bahwa ayat-ayat dan Hadist-hadist tersebut memperkuat aliran mereka, namun sesuai amanat al-Qur'an, yang demikian tidak berarti harus kita sikapi dengan anarkis dan menghilangkan sudut keobjektifitasan kita.
Marilah kita saling bahu membahu antar sesama saudara seiman didalam menegakkan ajaran Allah, para pengikut ahli Bait menjalin hubungan baik dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut sunnah Nabi; dan keduanya ini pun haruslah mau untuk tidak memutuskan tali silaturahmi terhadap mereka yang berasal dari jemaah Ahmadiyah dan begitulah seterusnya secara wajar.
Kita boleh bertukar pikiran dan kita juga tidak dilarang untuk saling berdebat, mari kita kemukakan dalil-dalil yang kita miliki dan kita yakini menunjang apa yang kita jalani, jikapun tidak terdapat jalan keluar terbaik, marilah kita benci pendapatnya saja namun bukan orangnya.
"Apabila kamu berbantahan disatu permasalahan, hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul apabila adalah kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian."
(Qs. an-Nisa' 4:59)
Banyak orang mengatakan bahwa melakukan Bai'at terhadap pemimpin itu wajib hukumnya, namun ber-bai'at terhadap Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw jauh melebihi dari kewajiban berbai'at kepada siapapun.
Jika mencintai ahli Bait adalah suatu keharusan, maka berpegang kepada Sunnah itu pun merupakan bagian dari keimanan.
Mari kita hargai hasil ijtihad dari masing-masing manusia sebagaimana kita juga ingin orang lain menghargai pendirian yang kita yakini.
Tulisan ini tidak untuk ditujukan pembenaran suatu klaim dari jemaah tertentu dan tidak pula dimaksudkan untuk menyudutkan suatu pandangan tertentu pula, semua ini hanyalah karena terdorong rasa kerinduan terhadap hadirnya kembali ruh-ruh Muhammad maupun sosok Ali bin Abu Thalib r.a yang mencintai persaudaraan dan kesatuan umat Islam.
"Sesungguhnya mereka yang memperdebatkan ayat-ayat Allah dengan tidak ada alasan yang datang kepada mereka, tidak ada didada-dada mereka melainkan kesombongan yang mereka tidak akan sampai kepadanya."
(Qs. al-Mu'min 40:56)
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan didalamnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya."
(Qs. al-Israa 17:36)

Wassalam,